Keyword : Consumer Protextion, compensation
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Guidelines for consumer protection of 1985 yang dikeluarkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) menyatakan bahwa “ konsumen dimanapun mereka berada, dari segala bangsa mempunyai hak-hak dasar sosialnya “. Maksud dari hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan, hak untuk memilih, hak untuk didengar, hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan) hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggota untuk memberlakukan hak-hak konsumen tersebut di negaranya masing-masing.
Di Indonesia, berdasarkan pengalaman dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI ) selama 25 tahun beroperasi, masih banyak permasalahan yang dihadapi konsumen. Pengusaha dan pemerintah sering mengabaikan hak-hak konsumen, baik dalam pelayanan pada masyarakat (public service) maupun dalam penjualan produk.
Bahkan beberapa perusahaan di Indonesia dalam mendapatkan keuntungan, kebanyakan mereka mau mengorbankan kepentingan jangka panjang demi kepentingan jangka pendek. Sebagai contoh mereka lebih memusatkan perhatian dalam mengukur keberhasilan kinerja mereka dari perspektif keuangan, seperti pencapaian ROI, laba, dan rasio-rasio keuangan lainnya, sehingga kurang memperhatikan perspektif non keuangan seperti halnya menyangkut kualitas produk, atau jasa pelayanan serta perlindungan hukum umumnya belum memenuhi harapan konsumen.
Ketidaksetaraan kepentingan terlihat antara pelaku bisnis untuk mendapatkan laba dengan kepentingan konsumen untuk mendapatkan kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tersebut. Konsumen biasanya berada pada posisi tawar menawar yang lemah dan karenanya dapat menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku bisnis yang secara sosial ekonomi memiliki posisi kuat, khususnya dalam hal pelaku bisnis atau produsen menggunakan perjanjian baku. Hak-hak produsen lebih menonjol dibandingkan dengan hak-hak konsumen, karena syarat-syarat atau klausul-klausul dalam perjanjian tersebut, konsumen hanya memiliki kewajiban saja. Sehingga demikian, hak dan kewajiban antara produsen dan konsumen tidak seimbang atau tidak setara. Praktek semacam ini banyak terdapat dalam perusahaan-perusahan yang belum sepenuhnya menciptakan keseimbangan antara kepentingan perusahaan (pendapatan) dan konsumen berupa peningkatan pelayanan dan perlindungan hukum yang sesuai dengan harapan konsumen.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen masih memerlukan adanya campur tangan pemerintah melalui penetapan sistim perlindungan hukum terhadap konsumen sebagaimana dijelaskan dalam konsideran Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen , yang menyatakan bahwa :
Perlindungan hukum konsumen sekarang ini penting mengingat pembangunan perekonomian nasional, pada era globalisasi semakin mendukung tumbuhnya usaha yang menghasilkan beraneka ragam produk (barang/jasa) yang memiliki kandungan teknologi, untuk itu perlu diimbangi dengan adanya upaya perlindungan terhadap resiko, kemungkinan kerugian akibat penggunaan produk tersebut, disamping itu keterbukaan pasar nasional terhadap berbagai produk dari dalam dan luar negeri perlu pula disertai dengan upaya perlindungan konsumen melalui upaya pencegahan kerugian dari ketidakpastian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan atau jasa yang diperoleh pasar tersebut.
Â
Perusahaan publik tetap berpedoman pada hukum perlindungan konsumen dalam aktifitas pelayanannya, seperti halnya pelayanan jasa keuangan oleh Perum Pegadaian. Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan (PERJAN) Pegadaian menjadi Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian. PERUM Pegadaian didirikan bertujuan untuk ikut serta menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian, yang menyebutkan bahwa:
Tujuan perusahaan lebih diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat golongan menengah kebawah, melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan jasa di bidang keuangan lainnya. Sehingga ia tidak hanya memberikan pelayanan kepentingan masyarakat, tapi juga mencari keuntungan untuk kelangsungan hidup usaha.
Perum Pegadaian sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) non bank, menjalankan usahanya melalui pemberian uang pinjaman atas dasar hukum gadai dengan jaminan barang bergerak sebagaimana diatur secara jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yakni buku II bab XX Pasal 1150 s/d Pasal 1161. Dalam tugas pokoknya untuk mencegah praktek ijon, pegadaian gelap, praktek riba dan pinjaman tidak wajar lainnya. Sedangkan disisi lain Perum Pegadaian disamping harus memberikan pelayanan dan perlindungan yang lebih kepada konsumen dan juga dituntut untuk mencari keuntungan serta sasaran pengguna dana lebih ditujukan untuk konsumen produktif dan konsumtif yang bersifat segera dalam melayani kebutuhan berbagai lapisan golongan masyarakat.
Pelayanan dan perlindungan kepada konsumen merupakan komitmen dari pihak manajemen, mengingat konsumen adalah pihak penentu terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Pelayanan yang diberikan lebih mengarah kepada kepuasan konsumen . Sementara perlindungan konsumen maknanya jauh lebih luas disamping sebuah bentuk pelayanan tapi juga memberikan keamanan dan keselamatan barang jaminan termasuk diri pribadi konsumen sendiri seperti dengan adanya asuransi kecelakaan.
Namun dalam prakteknya peneliti menemukan fenomena lain yakni terkait dalam kasus ganti rugi barang jaminan baik yang diatur dalam ketentuan sebelumnya sebagaimana tertera dalam perjanjian yang tertulis pada Surat Bukti Kredit (SBK), maupun yang terbaru ( SE Direksi N0.30 Tahun 2005 ) dalam kasus ganti rugi belum dirasakan adil oleh pihak konsumen baik secara material maupun non material seperti barang jaminan yang memiliki nilai khusus baik nilai psikologis maupun historis.
Menyikapi berbagai permasalahan yang terdapat dalam hal perlindungan konsumen maka pemerintah membuat ketentuan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi konsumen sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 Pasal 29 dan Pasal 30 tentang perlindungan konsumen menyatakan bahwa:
Pasal 29 Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha.
Pasal 30 Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan perundang-perundangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Berikutnya dalam Pasal 4 huruf b, c, d, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menjelaskan bahwa :
Konsumen mempunyai hak untuk memilih barang dan jasa, serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan , hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa , konsumen juga berhak didengar pendapat dan keluhannya atas barang yang digunaka.
Setelah itu dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menjelaskan bahwa :
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat perusahaan pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Perjanjian yang terjadi antara konsumen dengan Perum Pegadaian adalah perjanjian standar. Perjanjian standar menurut pengertian beberapa ahli diantaranya :
Hondius merumuskan perjanjian standar dengan:
Perjanjian standar adalah konsep janji-janji tertulis disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya di tuangkan ke dalam sejumlah tak sterbatas perjanjian yang sifatnya tertentu.
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai perjanjian, dapat disimpulkan hakikat perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah di standarisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isi perjanjian tersebut maka ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak maka perjanjian itu dianggap tidak ada. Hal ini disebabkan debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut. Dalam prakteknya, seringkali debitur yang membutuhkan uang hanya menandatangani perjanjian tanpa dibacakan isinya. Akan tetapi isi perjanjian baru dipersoalkan pada saat debitur tidak mampu melaksanakan prestasinya.
Perum Pegadaian sebagai salah satu perusahaan yang memberikan pelayanan masyarakat dalam hal pemberian pinjaman kepada pihak yang butuh dana ( debitur) telah memakai prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hal terjadinya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Perusahaan akan langsung memberikan penggantian kerugian akibat kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan rusak, hilang dan musnahnya barang yang dijaminkan tersebut. Tanggung jawab mutlak (strict liability) ini memberikan beban tanggung jawab pada pihak tergugat, atau dengan kata lain kesalahan langsung dianggap telah dilakukan oleh pihak tergugat. Pihak tergugat harus membayar semua kerugian yang diderita oleh seseorang tanpa mempersoalkan ada tidaknya unsur kesalahan. Unsur kesalahan yang merupakan unsur mutlak (liability based on fault), di pandang sebagai suatu relevan dengan penerapan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).
Dalam hal ini, Pegadaian telah melaksanakan prestasi terhadap perjanjian tersebut. Tetapi, pokok permasalahan yang sangat menonjol disini adalah tidak puasnya nasabah atau konsumen terhadap besarnya biaya ganti rugi barang jaminan yang diberikan perusahaan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Surat Bukti Kredit (SBK). Dimana, besar ganti rugi dinilai secara philosofi tidak mencerminkan prinsip keadilan baik secara material dan psikologis barang jaminan, misalnya : secara material jumlah ganti rugi tidak dapat lagi dibelikan barang jaminan seperti sedia kala sedangkan secara psikologis dan historis, kondisi barang jaminan tersebut tidak dapat dibuat seperti bentuk aslinya.
Dalam penetapan pembayaran ganti rugi barang jaminan di Perum Pegadaian yang tercantum pada perjanjian dalam Surat Bukti Kredit (SBK) umumnya sudah dipahami oleh nasabah, walaupun perjanjian kredit tersebut isinya telah ditentukan secara sepihak oleh Perum Pegadaian, namun mereka sebagai pihak yang lemah atau sangat membutuhkan dana mau tidak mau harus bersedia menandatangani perjanjian tersebut tanpa memikirkan dampak hukumnya di kemudian hari.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka penulis sangat tertarik untuk mengangkat masalah ini sebagai objek penelitian yang diberi judul :
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS KASUS GANTI RUGI BARANG JAMINAN PADA PERUM PEGADAIAN
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti diuraikan di atas, maka dapat di kemukakan masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu :
1. Bagaimanakah keefektifan pelaksanaan Perjanjian kredit barang jaminan dalam kasus Ganti kerugian?.
2. Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan Perum Pegadaian terhadap kasus ganti rugi barang jaminan ?
C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang didukung pula oleh penelitian lapangan. Penelitian ini mencoba menjawab permasalahan-permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini dengan melihat peraturan perundang-undangan yang ada kemudian melihat langsung pelaksanaannya dilapangan.
PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum terhadap barang jaminan pada Perum Pegadaian
Pelaksanaan ganti rugi/kerugian dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hanya meliputi pengembalian atau penggantian barang, dan/jasa yang sejenis atau setara nilainya, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau ganti kerugian yang dianut adalah ganti kerugian subjektif..
Perlindungan Hukum terhadap konsumen dalam kasus ganti kerugian terhadap barang jaminan di Pegadaian yang hilang, baik jaminan mobil, barang gudang, emas dan permata(berlian) dengan contoh sebagai berikut :
Ganti Kerugian Anggunan Mobil
Penetapan taksiran untuk barang jaminan berupa satu buah mobil Toyota kijang Krista tahun 2000 dengan kondisi semua baik dan lengkap, HPS yang kita tetapkan sebesar Rp 140 juta. Dengan patokkan taksiran sebesar 75% maka didapat nilai taksiran sebesar Rp 105 juta. Lalu jika karena satu hal agunan mobil ini hilang atau rusak seluruhnya di pegadaian maka ganti rugi yang akan diberikan kepada konsumen/nasabah adalah sebesar Rp 140.000 juta sesuai Harga Pasar Setempat atau berupa mobil yang setara nilainya. Berarti setelah nasabah menebus UP+SM dari pinjaman anggunan yang hilang tersebut.
Perhitungan ganti kerugian terhadap anggunan yang hilang apabila mengacu pada sistim subyektif sebagaimana yang dianut Undang-undang Perlindungan Konsumen cukup mendekati kewajaran harga dan sejalan dengan azas ganti kerugian bahwa kerugian harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula.
Dan hal ini apabila dikaitkan pada pada Aturan Dasar Pegadaian (ADP) pasal 13 ayat 4, Pegadaian diberi kewenangan legal untuk memberi nasabah ganti rugi atas barang yang hilang atau rusak lebih besar dari 125% yang dihitung berdasarkan harga pasar. Harga pasar yang dimaksud tentu harga yang berlaku umum, tidak kerendahan atau ketinggian.
Apakah pemberi ganti rugi 125% dari taksiran agunan yang kita janjikan kepada nasabah sudah sesuai dengan praktik bisnis yang sehat? . Masalah dapat terjadi bilamana nasabah tidak mau menerima ganti rugi yang ditawarkan pegadaian sebesar 125% dari taksiran agunan versi pegadaian karena beranggapan taksiran pegadaian tidak berpedoman kepada harga pasar yang berlaku umum.
Sebenarnya dengan tidak memandang besarnya nilai taksiran suatu agunan kita dapat menetapkan kebijakan ganti rugi adalah sebesar 100% Harga pasar. Artinya kita mengadopsi pendapat ganti rugi yang diberikan harus dapat memberi kemampuan bagi nasabah untuk membeli kembali barang serupa yang hilang. Sehingga kita tidak perlu repot menetapkan suatu prosentase tertentu dari nilai taksiran agunan . Karena bagaimanapun , ganti rugi yang fair tetap harus dikaitkan dengan harga pasar yang wajar. Bukankah nilai taksiran yang kita tetapkan untuk suatu agunanpun asalnya dari patokan taksiran yang dikalikan harga pasar ? Sehingga jika kita merevisi kebijakan ganti rugi sebesar 125% dari harga pasar dan bukan 125% dari taksiran yang hilang atau rusak, maka kita sudah jauh lebih maju dalam menghargai nilai ekonomis dan nilai historis serta nilai psikologis agunan milik nasabah. Tambahan 25% tersebut kita berikan sebagai pengakuan dan penghargaan kita terhadap agunan nasabah yang mungkin memiliki nili-nilai spesifik bagi nasabah pemiliknya.
Perum pegadaian tidak mengingkari kelaziman pemberian ganti rugi dalam praktik berbisnis. Ganti rugi diberikan kepada nasabah bilamana terjadi kerusakan agunan yang disebabkan kelalaian Pegadaian atau terjadi kehilangan agunan milik nasabah yang disebabkan kasus pencurian, perampokan. Namun ganti rugi tidak diberikan dalam kasus force majeur seperti jika terjadi banjir, kerusuhan, huruhara, kebakaran, gempabumi, angin topan dan lain-lain.
Kendati Buku Tata Pekerjaan (BTP) sudah dinyatakan tidak berlaku lagi namun sebagai perbandingan kita kutip ketentuan mengenai pemberian ganti rugi yaitu pada Pasal (6) disebutkan :
Uang ganti rugi hanya boleh dibayar, jika barang jaminan seluruhnya atau sebahagian hilang atau rusak disebabkan : terbakar, basah, dimakan binatang (rayap,ngengat, tikus dsb) atau sebab-sebab lain yang dalam keadaan biasa seharusnya dapat dicegah oleh Perjan Pegadaian seperti : kehilangan karena pencurian atau sebab kekeliruan dari penggelapan oleh pegawai Perjan Pegadaian.
Uang ganti rugi (sebesar 125% taksiran ) hanya boleh dibayarkan sesudah UP + uang bunga yang harus dibayar telah diterima dari peminjam dan uang ini juga sudah dibukukan dalam contoh B seperti pelunasan biasa. Akan tetapi dapat terjadi hanya dibayar uang ganti rugi atas sebagian dari barang jaminan saja.
Dalam Operasional Kantor Cabang (POKC) sebagai pengganti BTP ternyata tidak ditemukan lagi ketentuan yang mengatur pemberian ganti rugi ini. Mungkin pembuat POKC berpendapat hal ini cukup diatur dibagian belakang SBK saja, pada hal ini aturan penting yang menyangkut ketegasan pemberian ganti rugi terhadap harta nasabah yang diagunkan dipegadaian. Perbedaan pandapat antara nasabah dan pegadaian dalam pemberian ganti rugi ini dapat memicu tuntutan nasabah kepengadilan. Pengadilan berhak memutuskan apakah pemberian ganti rugi versi pegadaian telah patut , wajar dan adil.
Dalam aturan dasar pengadilan Lembaran Negara Nomor 81 Tahun 1928 Pasal 13 ayat (4) Instruksi Perdana mentri Nomor. 3/2/1956 pada intinya disebutkan bahwa ganti rugi diatas 125 % dapat diberikan dengan dasar perhitungan menurut harga pasar yang berlaku.
Pada hemat penulis ganti rugi yang diberikan kepada nasabah adalah biaya yang wajar atas resiko operasional perusahaan dalam praktik bisnis yang melibatkan pelanggan akibat agunan hilang atau rusak. Ganti rugi tersebut harus memenuhi unsur-unsur:
1. Sebagai pengakuan bahwa perusahaan telah lalai menjaga keamanan agunan milik nasabah .
2. Sebagai pengakuan bahwa perusahaan menghargai arti penting agunan tersebut yang mungkin memiliki nilai psikologis bagi nasabah.
3. Sebagai pelipur duka nasabah atas hilang atau rusaknya agunan tersebut kendati mungkin barang yang hilang /rusak memiliki nilai ekonomi yang relatif murah.
4. Sebagai tanggung jawab perusahaan secara materi kepada nasabah sehingga nasabah dapat menggantinya dengan membeli kembali harta serupa yang hilang saat diagunkan dipegadaian .
B . Contoh Kasus dan Analisa
Sebagai contoh kita ambil penetapan taksiran untuk barang jaminan berupa satu buah mobil Toyota kijang Krista tahun 2000 dengan kondisi semua baik dan lengkap, HPS yang kita tetapkan sebesar Rp 140 juta. Dengan patokkan taksiran sebesar 75% maka didapat nilai taksiran sebesar Rp 105 juta. Lalu jika karena satu hal agunan mobil ini hilang atau rusak seluruhnya di pegadaian maka ganti rugi yang akan diberikan kepada nasabah adalah sebesar Rp 131,25 juta (125%x Rp105 juta ).Berarti setelah nasabah menebus UP+SM dari pinjaman beragunan yang hilang tersebut maka nasabah akan mendapatkan pengantian sebesar Rp 131,25 juta saja.Ganti rugi sebesar ini jelas akan merugikan nasabah karena tidak cukup membeli satu buah mobil Toyota kijang Krista produksi tahun 2000 seperti yang hilang dari di pegadaian karena harga pasar mobil tersebut adalah sebesar Rp 140 juta.
Adalah tidak adil memberi ganti rugi kepada nasabah tersebut hanya sebesar Rp131,25 juta saja. Karena jumlah sebesar ini ternyata tidak cukup hanya sekedar untuk membeli mobil yang sama sebagai penganti mobil yang hilang akibat kelalaian pegadaian. Padahal ganti rugi yang ideal selain memberi kemampuan kepada nasabah untuk membeli kembali harta agunan yang hilang juga seyogianya memperhitungkan biaya-biaya psikologis seperti yang diuraikan diatas.
Penetapan ganti rugi untuk agunan yang hilang atau rusak sebesar 125% dari taksiran yang diterapkan selama ini perlu dikoreksi karena hanya bersifat umum dan pukul rata untuk semua jenis agunan dari perhitungan secara sederhana diatas terlihat besaran ganti rugi akan bervariasi sejak dari 112% untuk agunan jenis gudang hingga 548% untuk agunan berlian.
Ketentuan ganti rugi sebesar 125% yang selama ini diterapkan yang dicantumkan dalam klausul perjanjian dibelakang SBK adalah ketentuan sepihak dari pegadaian kendati nasabah telah menandatangani SBK namun jika dalam hal ganti rugi atas aguan yang rusak atau hilang nasabah merasa ganti rugi yang diberikan terlalu rendah karena tidak sesuai harga pasar yang berlaku maka nasabah berhak mengajukan protes bahkan membawa masalahnya ke pengadilan. Ini sejalan dengan ketentuan Undang-undang nomor 8 Perlindungan Konsumen. Dan hak nasabah inipun telah diakomodasikan dalam klausul perjanjian kredit dibagian belakang SBK butir sebelas yang berbunyi : “Apabila terjadi permasalahan dikemudian hari akan diselesaikan musyawarah untuk mufakat jika ternyata perselisihan ini tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat, maka akan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri setempa.
Pedoman Operasional Kantor Cabang (POKC) sebagai pengganti dari Buku Tata Pekerjaan (BTP) tidak mengatur masalah dan teknis pemberian ganti rugi atas agunan milik nasabah yang rusak atau hilang saat digadaikan dipenggadaian. Padahal didalam BTP hal yang sama diatur sangat rinci secara teknis. Oleh karena itu disarankan agar yang menyangkut ganti rugi ini dicantumkan kembali di POKC setelah direvisi seperlunya disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi akhir ini .
Pemberian ganti rugi lebih besar dari 125% berdasarkan harga pasar, dengan alasan mempertimbangkan tertentu, dibolehkan oleh Aturan Dasar Pagadaian (ADP) pasal 13 ayat 4 (Lembaran Negara Nomor 81 Tahun 1928) dan sesuai pula dengan Intruksi Perdana Mentri Nomor 3/2 / 1956.
Oleh karena itu sebagai penegasan , sudah waktunya pula bagi pegadaian untuk meninjau kembali ketentuan ganti rugi 125% yang berlaku umum dan pukul rata untuk sebuah jenis agunan.
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan pada bab-bab terdahulu dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
- Pelaksanaan perjanjian kredit terhadap barang jaminan pada Perum Pegadaian telah berjalan efektif. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya konsumen yang menggunakan jasa pegadaian untuk memperoleh dana. Kefeektifan ini terjadi karena visi dan misi pegadaian sebagai kreditur dengan cara lebih mudah dibandingkan lembaga keuangan lain bukan bank. Namun yang menjadi persoalan adalah apabila telah terjadi wanprestasi oleh pegadaian terhadap barang jaminan, konsumen masih merasa tidak adanya keadilan dalam hal besarnya ganti rugi.
- Perlindungan hukum terhadap kosumen Pegadaian dalam pembayaran ganti rugi barang jaminan belum mencerminkan keadilan. Dan belum sejalan dengan yang dimaksudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Demi kepastian hukum dalam memperoleh perlindungan hukum bagi konsumen yang tekait dalam kasus ganti rugi barang jaminan, maka dalam klausa-klausa perjanjian harus mencerminkan keadilan para pihak agar terwujud rasa keadilan.
- Penetapan ganti rugi untuk agunan yang hilang atau rusak sebesar 125% dari taksiran yang diterapkan selama ini perlu dikoreksi karena hanya bersifat umum dan pukul rata untuk semua jenis agunan dari perhitungan secara sederhana diatas terlihat besaran ganti rugi akan bervariasi sejak dari 112% untuk agunan jenis gudang hingga 548% untuk agunan berlian.
- Pedoman Operasional Kantor Cabang (POKC) sebagai pengganti dari Buku Tata Pekerjaan (BTP) kurang akomodatif dalam mengatur masalah dan teknis pemberian ganti rugi atas agunan milik nasabah yang rusak atau hilang saat dipenggadaian. Padahal didalam BTP hal yang sama diatur sangat rinci secara teknis. Oleh karena itu disarankan agar yang menyangkut ganti rugi ini dicantumkan kembali di POKC setelah direvisi seperlunya disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi akhir ini .
- Pemberian ganti rugi lebih besar dari 125% berdasarkan harga pasar, dengan alasan mempertimbangan tertentu, dibolehkan oleh Aturan Dasar Pagadaian (ADP) pasal 13 ayat 4 (Lembaran Negara Nomor 81 Tahun 1928) dan sesuai pula dengan Intruksi Perdana Mentri Nomor 3/2 / 1956. Maka pembayaran ganti rugi seharusnya besaran ganti rugi harus memperhitungkan harga beli agunan sesuai harga pasar dan sedapat mungkin juga memperhitungkan biaya atas kelalaian perusahaan serta biaya psikologis dan historis dari nasabah sebagai pemilik agunan dan juga hal ini tidak bertentangan secara hukum.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Media, Jakarta : 2002
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990.
Dalan dan Sanusi Bintang, Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000
Direktorat Operasi dan Pengembangan Kantor Pusat Perum Pegadaian, Buku Pedoman Menaksir, Jakarta: (BPM), 199
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001
----------------------------------------------------, Jaminan Fidusia, Jakarta, Grafindo, Persada, 2001
----------------------------------------------------, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standar), Jakarta : BPHN, 1980
----------------------------------, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumin, 1984.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tetang Pengalihan bentuk Bentuk Perusahaan dari PERJAN menjadi PERUM.
Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar